-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Merdeka dari Partai: Menelisik Nasib Calon Independen di Tengah Demokrasi yang Terkunci (Opini)

Redaksi
Rabu, 09 April 2025, April 09, 2025 WIB Last Updated 2025-04-09T07:19:21Z


Oleh : Adinda Putri Nabiilah SH 


Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menjamin setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Lebih lanjut, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengakui eksistensi calon perseorangan atau independen sebagai jalur sah dalam kontestasi elektoral. 


Namun sayangnya, meski diakui secara normatif, praktik pencalonan independen tak ubahnya seperti mendaki bukit curam yang penuh rintangan birokrasi, aturan administratif yang menumpuk, dan verifikasi berlapis-lapis.


Pasal 41 ayat (1) UU No. 10/2016 menyebutkan bahwa calon perseorangan wajib menyerahkan dukungan minimal dalam bentuk fotokopi KTP yang tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di daerah tersebut. 


Di Pangkalpinang misalnya, batas dukungan minimal mencapai sekitar 10 persen dari jumlah DPT, yang berarti ribuan KTP harus dikumpulkan, diperiksa, dan diverifikasi secara faktual oleh PPS dan PPK. Prosedur yang pada awalnya bertujuan untuk memastikan keseriusan calon, perlahan berubah menjadi seleksi ketat yang mempersulit kemunculan kompetitor nonpartai.


Kondisi ini menunjukkan adanya asymmetrical regulation—aturan yang tampak netral di atas kertas, tapi dalam praktik justru lebih memberatkan satu pihak. Bandingkan dengan calon partai politik yang cukup dengan membawa surat dukungan dari DPP dan tidak perlu menjalani verifikasi faktual di lapangan. 


Ketimpangan inilah yang menguatkan dugaan bahwa regulasi bukan dibuat untuk mendorong demokrasi inklusif, melainkan untuk membentengi dominasi oligarki partai.


Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 5/PUU-V/2007 secara eksplisit menegaskan bahwa calon independen adalah bentuk pemenuhan hak konstitusional warga negara. 


Mahkamah menilai, pembatasan partisipasi hanya melalui jalur partai politik bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pelibatan warga negara secara langsung melalui calon independen adalah bagian dari penguatan demokrasi substantif.


Namun bagaimana bila dalam prosesnya, muncul dugaan intimidasi, intervensi, atau tekanan terhadap penyelenggara pemilu demi menggagalkan jalur independen? 


Jika ini terbukti benar, maka yang kita hadapi bukan sekadar problem teknis, tetapi krisis legitimasi demokrasi itu sendiri. Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Intervensi terhadap calon independen jelas menciderai asas kejujuran dan keadilan itu.


Situasi di Pangkalpinang menjadi cermin dari kerapuhan demokrasi kita hari ini. Ketika hanya ada satu pasangan calon diusung koalisi partai dalam Pilwako 2024, masyarakat menjawab dengan memilih “kotak kosong” sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi politik yang tertutup. 


Kemenangan kotak kosong menunjukkan bahwa rakyat tidak sekadar menjadi objek pemilu, melainkan subjek yang sadar hak dan aspirasinya.


Kini, dengan munculnya pasangan independen seperti Eka Mulya Putra dan Ramida Dawam—dikenal dengan Paslon Merdeka—terlihat jelas bahwa rakyat masih memiliki daya hidup politik yang sehat. 


Namun dukungan yang melimpah tak serta merta menjamin mereka lolos ke tahap pencalonan. Rintangan administratif dan verifikasi tambahan kembali membentang. 


Apabila dalam prosesnya terjadi ketidaknetralan, maka ini akan semakin merusak kredibilitas penyelenggara pemilu dan mencederai prinsip demokrasi.


Ketakutan elite terhadap calon independen pada dasarnya bukan soal kekuatan logistik, melainkan soal daya tarik moral. Calon independen hadir bukan dari kompromi partai, tapi dari panggilan masyarakat. 


Mereka tidak punya beban transaksi politik, tidak terikat pada struktur oligarkis, dan karenanya lebih bebas menyuarakan aspirasi rakyat. Inilah yang membuat mereka “berbahaya” bagi status quo.


Kita tidak boleh terus membiarkan demokrasi terjebak dalam logika demokrasi prosedural yang hanya melayani kepentingan elite. 


Demokrasi harus kembali menjadi ruang partisipasi terbuka, di mana setiap warga negara—terlepas dari afiliasi partai—berhak mencalonkan diri dan dipilih.


Pemerintah, penyelenggara pemilu, serta aparat hukum harus berdiri di tengah sebagai penjamin proses yang netral dan adil. Jika calon independen ditolak bukan karena kekurangan dukungan, tapi karena rekayasa prosedural atau tekanan eksternal, maka sesungguhnya yang kita hadapi bukan hanya pengkhianatan terhadap hukum, tapi pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi.


Dalam situasi seperti ini, mendukung calon independen bukan hanya soal strategi politik, melainkan pernyataan sikap: bahwa demokrasi tidak boleh dimonopoli. 


Bahwa rakyat berhak punya pilihan, bahkan jika pilihan itu datang dari luar lingkar kekuasaan.


Dan ketika pilihan itu hadir, mari kita jaga agar ia tidak dikubur secara sistematis oleh ketakutan politik yang mengatasnamakan aturan. 


Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak, tapi juga soal siapa yang diizinkan bersuara. (Redaksi)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+