Pangkalpinang, Selektifnews.com – Kuasa hukum ahli waris almarhum Sri Dwi Joko/Widodo, Arman S.H., melayangkan surat resmi kepada Kepala Kepolisian Daerah Bangka Belitung (Kapolda Babel) menuntut kepastian hukum atas putusan praperadilan yang telah dimenangkan oleh kliennya. Rabu (23/4/2025)
Surat tersebut dikirim sebagai bentuk kekecewaan atas tidak adanya tindak lanjut dari pihak Penyidik Subdit II Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Babel, meskipun putusan pengadilan telah mengikat secara hukum.
Putusan praperadilan yang dimaksud adalah Putusan Nomor: 1/Pid.pra/2025/PN.Pgp, yang dibacakan pada 12 Maret 2025 oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Dalam amar putusan tersebut, hakim secara tegas mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa penerbitan surat ketetapan penyelidikan Nomor: SP.TAP/30.a/I/2025/Ditreskrimum tertanggal 17 Januari 2025 oleh termohon adalah tidak sah.
Hakim juga memerintahkan agar penyidik melanjutkan proses penyidikan atas Laporan Polisi Nomor: LP/B/89/V/2024/SPKT/Polda Kep. Babel yang melibatkan terlapor Yuli bin Jaharudin (alm).
Namun, hingga kini, pihak penyidik tidak menunjukkan tindakan nyata untuk menjalankan perintah hukum tersebut.
Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya upaya penghentian penyidikan (SP3) yang disengaja dan berpotensi menjadi bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan.
“Apabila tidak ada tindak lanjut, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga merusak citra institusi kepolisian, khususnya Polda Bangka Belitung. Kepolisian harus tunduk pada amanat konstitusi dan supremasi hukum,” tegas Arman S.H.
Arman menambahkan, jika perkara ini kemudian ditutup kembali tanpa alasan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, maka ada indikasi kuat permainan pihak-pihak tertentu yang ingin menutupi kasus ini, yang menurutnya berkaitan dengan mafia tanah.
“Ini bukan sengketa kepemilikan tanah. Ini perkara dugaan pemalsuan dokumen tanah oleh saudara Yuli. Fakta ini masuk ke dalam delik pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada—mulai dari laporan polisi, keterangan saksi, dokumen yang dipersoalkan, hingga petunjuk lain—kasus ini sudah cukup untuk menetapkan Yuli sebagai tersangka.
Satu-satunya yang belum dilengkapi hanyalah keterangan saksi ahli dan hasil forensik dari kepolisian.
“Apalagi tindakan ini telah merugikan pihak pelapor, warga Desa Rebo, serta keluarga almarhum Mardin. Tidak ada alasan bagi penyidik untuk menunda-nunda proses hukum ini,” tegasnya.
Lebih lanjut, Arman menyayangkan jika perkara ini dihentikan hanya karena interpretasi keliru terhadap putusan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1956.
“Putusan itu tidak relevan, karena perkara ini bukan soal sengketa tanah, melainkan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen. Kami juga merujuk pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-230/E/EJO/01/2013 tanggal 22 Januari 2013 yang menekankan perlunya proses hukum terhadap dugaan pemalsuan,” tambahnya.
Atas dasar itu, Arman meminta Kapolda Babel memberikan atensi khusus terhadap perkara ini.
Menurutnya, publik menantikan bagaimana kepolisian menegakkan hukum secara adil dan tanpa tebang pilih.
“Keadilan adalah hak setiap warga negara. Jangan biarkan hukum hanya berpihak pada yang kuat. Hukum seharusnya melindungi mereka yang tertindas dan mencari keadilan. Manusia lahir dengan hati bersih, dan seharusnya mati juga dengan hati yang bersih,” ucap Arman dengan nada emosional.
Surat yang dikirim ke Kapolda Babel juga ditembuskan kepada berbagai pihak terkait, termasuk Divisi Propam Polri dan Komnas HAM, sebagai upaya untuk membuka mata publik dan mendorong transparansi dalam penanganan perkara ini.
Kini, masyarakat dan pihak keluarga korban hanya bisa berharap agar supremasi hukum kembali ditegakkan.
Keadilan yang tertunda bukan hanya menyakiti keluarga korban, tetapi juga mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. (Sandy Batman/KBO Babel)