-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Tangkahan Pasir di Huta Kucingan Nagori Sei Mangke Menuai Kritik, Masyarakat Tuntut Agar Segera Ditutup!

Redaksi
Jumat, 07 Februari 2025, Februari 07, 2025 WIB Last Updated 2025-02-07T15:38:20Z


Simalungun, Selektifnews.com – Tangkahan pasir yang beroperasi di Huta Kucingan, Nagori Sei Mangke, Kabupaten Simalungun, semakin menuai kritik dari masyarakat. Warga menilai keberadaan tambang pasir tersebut lebih banyak membawa dampak negatif, mulai dari kerusakan lingkungan hingga ketidakadilan dalam distribusi pasir bagi masyarakat setempat.


Kritik ini semakin memuncak ketika beberapa titik di sekitar lokasi tambang mengalami longsor akibat pengerukan bantaran sungai. Warga khawatir jika aktivitas ini terus berlanjut, dampak ekologis yang lebih besar akan terjadi, mengancam keselamatan mereka.



Aksi Unjuk Rasa Warga

Pada Kamis (5/2/2025), masyarakat Nagori Sei Mangke menggelar aksi unjuk rasa di Balai Nagori Sei Mangke, menuntut agar pemerintah setempat segera menutup operasi tangkahan pasir tersebut.


RJL, salah satu warga yang ikut dalam aksi, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengelolaan tambang pasir yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat.




"Kami sebagai warga sekitar tidak diberi kemudahan mendapatkan pasir, padahal kami membayar, bukan meminta gratis. Pasir yang kami beli pun untuk pembangunan di kampung-kampung, bukan untuk kepentingan pribadi," ujarnya.


Ia juga menyoroti bahwa tangkahan tersebut lebih mementingkan distribusi pasir untuk kepentingan perusahaan yang beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke.


"Jalan kami rusak, lingkungan kami terdampak, sementara pasirnya hanya untuk perusahaan. Ditambah lagi izin operasionalnya bermasalah. Kalau Pangulu Nagori tetap membiarkan ini beroperasi, ya wajar kami curiga karena dia dapat keuntungan dari setiap truk yang beroperasi," tambah RJL.



Pandangan Lembaga Swadaya Masyarakat

Ketua Aliansi Masyarakat Siantar Simalungun Bersatu Johan Arifin menegaskan bahwa tangkahan pasir tersebut memang sudah seharusnya ditutup. Ia merinci beberapa alasan utama yang membuat operasional tambang ini ilegal dan merugikan lingkungan serta masyarakat:

1. Penyalahgunaan Izin Usaha Pertambangan (IUP): Lokasi pengerukan tidak sesuai dengan titik yang tercantum dalam izin.

2. Pengelolaan Tidak Sesuai Regulasi: Pemegang IUP bukanlah pengelola, melainkan dikelola oleh pihak lain tanpa izin resmi.

3. Penggunaan Fasilitas Umum Secara Ilegal: Tidak memiliki jalan khusus perusahaan, sehingga menggunakan jalan masyarakat dan jalan milik BUMN (PTPN3), yang tidak diperbolehkan.

4. Pelanggaran Lingkungan: Dinas Perizinan dapat mencabut izin tambang jika operasionalnya sudah terbukti mengganggu lingkungan.


Johan Arifin juga meminta agar pihak kepolisian, terutama Polres Simalungun dan Satreskrim, segera menertibkan aktivitas tambang ini. Ia menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum terkait tambang pasir di wilayah tersebut.


"Saya lihat jika tangkahan milik masyarakat kecil langsung ditertibkan dengan tegas oleh Satreskrim. Tapi kenapa tangkahan di Huta Kucingan yang diduga dikelola oleh oknum TNI justru tidak tersentuh? Polisi harus adil, jangan takut untuk menegakkan hukum," tegasnya.


Ia juga menilai adanya praktik hukum yang tidak adil semakin memperbesar kesenjangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, ia mendesak agar masalah ini mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, termasuk Presiden Prabowo Subianto.


"Jika penegakan hukum masih tebang pilih, masyarakat berhak memviralkan masalah ini agar Pak Prabowo tahu dan segera mengambil tindakan," tutup Johan Arifin.




Regulasi Terkait Pertambangan Pasir

Mengacu pada peraturan yang berlaku di Indonesia, aktivitas pertambangan pasir harus mengikuti ketentuan hukum yang jelas. Beberapa regulasi yang relevan dalam kasus ini antara lain:


1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:

- Pasal 158: Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

- Pasal 161: Pihak yang menyalahgunakan IUP juga dapat dikenai sanksi pidana.


2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

- Pasal 69: Setiap kegiatan yang merusak ekosistem, termasuk pengerukan bantaran sungai yang menyebabkan longsor, dapat dikenakan sanksi hukum.

- Pasal 76: Pemerintah berhak mencabut izin usaha jika ditemukan pelanggaran lingkungan.


3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

Mengatur bahwa perusahaan tambang wajib melakukan kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebelum beroperasi.


Respons Pihak Terkait

Hingga berita ini diterbitkan, pihak pengelola tangkahan pasir serta Pangulu Nagori Sei Mangke belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan masyarakat. Reporter kami masih berupaya menghubungi mereka untuk mendapatkan klarifikasi lebih lanjut.


Masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera bertindak tegas terhadap operasional tambang pasir yang dianggap ilegal ini. Jika tidak, mereka berencana untuk terus melakukan aksi protes hingga tuntutan mereka dipenuhi.


(Laporan: Tim SelektifNews)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+