-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Muhammad Kasim Arifin: Sang Inspirasi yang Kembali dari Waimital

Redaksi
Minggu, 26 Januari 2025, Januari 26, 2025 WIB Last Updated 2025-01-25T19:36:52Z


Kisah hidup Muhammad Kasim Arifin adalah perjalanan panjang seorang pria yang memilih jalan berbeda dari banyak orang. Lahir pada 18 April 1938 di Langsa, Aceh, Kasim adalah sosok yang tidak hanya sekadar mencari gelar akademik atau bekerja demi kesuksesan pribadi. Sebaliknya, dia memilih untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat, menumbuhkan harapan bagi petani-petani kecil di pedalaman Indonesia. Perjalanan hidupnya yang penuh inspirasi tidak hanya menyentuh hati banyak orang, tetapi juga menjadi simbol dedikasi dan pengorbanan yang luar biasa.


Awal Mula Kasim: Dari Mahasiswa IPB ke Waimital

Pada tahun 1964, Kasim yang saat itu masih mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang dikenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program ini mengharuskan mahasiswa untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pengabdian masyarakat. Kasim mendapat tugas di Waimital, sebuah daerah terpencil di Pulau Seram, Maluku, yang pada saat itu sangat kekurangan sumber daya dan infrastruktur.


Di Waimital, Kasim menemukan sebuah masyarakat yang penuh tantangan dan penderitaan. Petani-petani miskin yang baru saja datang melalui program transmigrasi hidup dalam keterbatasan, terisolasi dari kemajuan dunia luar. Namun, Kasim yang datang dengan semangat untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan yang ia peroleh di IPB, tidak tinggal diam. Dia ikut merasakan kesulitan hidup mereka, bahkan rela bergabung dengan petani yang harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer untuk mencapai sawah mereka. Kasim bukan hanya mengajarkan cara bertani yang lebih baik, tetapi juga berusaha memperbaiki infrastruktur pertanian di Waimital, seperti membuka jalan desa, membuat irigasi, dan membangun sawah baru.


Dengan penuh semangat, Kasim mengabdikan dirinya pada masyarakat. Tanpa mengharapkan imbalan atau bantuan dari pemerintah, ia menggerakkan masyarakat untuk bergotong-royong membangun desa mereka. Kasim bahkan menanggalkan identitasnya sebagai mahasiswa kota dan menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan, dengan hanya mengenakan sandal jepit dan baju lusuh, seperti para petani yang ia bantu.


Keberanian untuk Bertahan: 15 Tahun di Waimital

Walaupun seharusnya tugasnya hanya berlangsung selama tiga bulan, Kasim merasa belum selesai. Ia tidak pulang meskipun teman-temannya sudah menyelesaikan studi dan melanjutkan hidup mereka di kota. Tahun demi tahun berlalu, Kasim tetap di Waimital, meskipun orangtuanya di Aceh dan bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memintanya untuk kembali ke kampus. Kasim tetap teguh pada pilihannya. Ia tidak merasa bahwa gelar akademik atau kehidupan kota adalah yang utama.


Namun, akhirnya, pada tahun 1979, dengan penuh pengertian dan dengan berat hati, Kasim bersedia kembali ke kampus IPB setelah dipanggil oleh teman-temannya. Dia tiba di Bogor hanya dengan sandal jepit dan pakaian lusuh, namun kedatangannya disambut seperti seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga. Teman-temannya yang kini sudah menjadi pejabat dan sarjana, terharu melihat dedikasi Kasim yang luar biasa.


Wisuda yang Mengharukan

Pada hari wisuda, suasana penuh haru mewarnai acara tersebut. Kasim yang semula hanya berniat duduk di kursi belakang, justru mendapat sambutan luar biasa dari semua orang. Ketika ia memasuki ruang wisuda, seluruh hadirin berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah. Kasim, yang seharusnya menjadi seorang insinyur pertanian seperti teman-temannya, ternyata lebih dihormati dan lebih berharga dari semua orang yang hadir di sana. Dedikasinya untuk masyarakat di Waimital membuatnya menjadi insinyur pertanian yang paling istimewa dan paling menyentuh hati.


Namun, Kasim tetap Kasim yang sederhana. Setelah wisuda, ia kembali lagi ke Waimital untuk melanjutkan pekerjaannya membantu masyarakat. Ia tidak terbuai oleh popularitas atau penghargaan. Bagi Kasim, kebahagiaan sejati ditemukan dalam membantu orang lain, dalam melihat senyum petani yang merasakan hasil dari jerih payah mereka.


Penghargaan dan Penolakan Dunia

Banyak penghargaan yang diterima oleh Kasim atas dedikasinya. Pada tahun 1982, pemerintah memberikan penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi di Indonesia di bidang lingkungan hidup, untuk jasa-jasanya dalam membangun masyarakat dengan wawasan lingkungan. Namun, penghargaan itu bukanlah tujuan bagi Kasim. Ia sempat membuang Kalpataru tersebut di bawah kursinya dan meninggalkannya begitu saja. Baginya, penghargaan dan pujian bukanlah yang utama. Yang terpenting baginya adalah bagaimana hidupnya bisa memberikan manfaat nyata bagi orang lain.


Begitu juga dengan tawaran untuk mengikuti program studi banding ke Amerika Serikat, yang ia tolak mentah-mentah. “Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan di sini?” ujarnya. Kasim merasa bahwa tugasnya ada di Indonesia, untuk membantu petani dan masyarakat yang membutuhkan, bukan untuk mengejar kemewahan atau pengalaman di luar negeri.


Legenda yang Tak Pernah Pudar

Setelah pensiun pada tahun 1994, Kasim tetap tinggal di Aceh dan terus menjadi aktivis lingkungan hidup. Namanya terus dikenang di Waimital, bahkan diabadikan menjadi nama jalan di desa tersebut. Kisah hidupnya ditulis dalam buku Seorang Lelaki Dari Waimital oleh Hanna Rambe, yang diterbitkan pada tahun 1983, dan kisahnya terus menginspirasi banyak orang hingga hari ini.


Kasim adalah sosok yang tidak peduli dengan karir atau kekayaan materi. Ia adalah seorang manusia yang melampaui dirinya sendiri, yang hidup untuk memberi dan menginspirasi. Di tengah dunia yang semakin materialistis, Kasim adalah oase yang selalu menyegarkan hati dan pikiran kita, mengingatkan kita akan pentingnya berbagi, mengabdi, dan mencintai tanah air serta sesama.


Kisah Kasim yang begitu menginspirasi ini tidak hanya mengingatkan kita tentang pentingnya mengutamakan kebahagiaan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana dedikasi dan pengorbanan dapat mengubah dunia, sedikit demi sedikit. Kasim Arifin adalah contoh nyata bahwa menjadi pahlawan tidak harus dengan medali atau penghargaan besar, tetapi dengan ketulusan dan komitmen untuk melayani dan mencintai sesama.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Entertainment

+

Opini

+