Sekretaris DPD GMNI Sumut Fata Laia (Foto: Istimewa) |
Siaran Pers: Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sumatera Utara (DPD GMNI SUMUT)
Aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menjadi sorotan setelah dugaan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia di kawasan Danau Toba mencuat ke permukaan. Fata Laia, Sekretaris DPD GMNI Sumatera Utara, dengan tegas mengecam tindakan perusahaan ini yang dinilai telah membawa dampak buruk terhadap ekosistem dan masyarakat adat setempat.
Insiden di Hutan Adat Dolok Parmonangan
Pada 2 Desember 2024, pukul 09.00 WIB, PT TPL bersama aparat kepolisian dan TNI diduga melakukan tindakan represif di hutan adat Dolok Parmonangan, juga dikenal sebagai Huta Utte Anggir. Pihak perusahaan menutup akses jalan menuju hutan adat tersebut dengan memasang palang, memicu kecurigaan Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan.
Ketegangan meningkat ketika masyarakat adat mendengar suara mesin dari dalam hutan. Saat mereka mencoba memasuki area tersebut untuk memeriksa aktivitas perusahaan, mereka dihalangi oleh pihak TPL dan aparat keamanan. Bentrokan pun terjadi, menyebabkan seorang warga Dolok Parmonangan mengalami luka serius di kepala akibat dugaan kekerasan dari pihak TPL. Insiden ini menjadi salah satu puncak konflik yang melibatkan perusahaan dengan masyarakat adat.
Deforestasi dan Kerusakan Ekologis
Hasil investigasi yang dilakukan DPD GMNI SUMUT menunjukkan bahwa PT TPL telah menghancurkan ribuan hektar hutan alam di sekitar Danau Toba. Hutan ini, yang merupakan penyangga utama ekosistem danau, dihancurkan melalui praktik deforestasi masif. Dampak dari aktivitas ini sangat luas, mulai dari ancaman terhadap keanekaragaman hayati hingga perubahan iklim lokal yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
Selain itu, limbah industri yang dihasilkan PT TPL diduga telah mencemari sungai dan danau di sekitar kawasan operasional perusahaan. Sungai dan danau yang menjadi sumber air dan kehidupan bagi masyarakat adat kini tercemar, menciptakan krisis lingkungan yang mengkhawatirkan.
Tanah Leluhur di Ambang Kehancuran
Salah satu dampak paling memprihatinkan dari aktivitas PT TPL adalah perampasan tanah ulayat masyarakat adat. Tanah leluhur yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan tempat sakral kini berubah menjadi wilayah eksploitasi perusahaan. Praktik ini tidak hanya menghilangkan hak masyarakat adat atas tanahnya tetapi juga mengancam keberlangsungan budaya mereka.
Konflik antara PT TPL dan masyarakat adat telah berlangsung lama. Selain perampasan tanah, masyarakat adat juga menghadapi kriminalisasi ketika berupaya mempertahankan hak-haknya. Penahanan dan ancaman hukum kepada mereka yang menolak praktik perusahaan menjadi bukti nyata ketidakadilan yang mereka hadapi.
Seruan DPD GMNI SUMUT: Hentikan Operasional PT TPL
Fata Laia menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan operasional PT TPL melalui moratorium izin. Ia juga mendesak agar dilakukan investigasi independen guna mengungkap skala kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi.
“Kami meminta pemerintah untuk segera bertindak tegas. Moratorium izin PT TPL harus menjadi langkah awal, disertai dengan penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Selain itu, kami mendesak penghentian kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang hanya ingin mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka,” ujar Fata.
DPD GMNI SUMUT juga menuntut pemulihan ekosistem yang telah dirusak oleh aktivitas PT TPL serta pengembalian hak tanah kepada masyarakat adat. Menurut mereka, upaya ini harus menjadi prioritas untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Ajakan Bersama untuk Menuntut Keadilan
Dalam siaran persnya, DPD GMNI SUMUT mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari organisasi sipil, akademisi, hingga media, untuk bersatu menyuarakan keadilan bagi masyarakat adat dan lingkungan. Dukungan kolektif ini diharapkan dapat menghentikan impunitas yang selama ini dirasakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti PT TPL.
Jika tindakan PT TPL dibiarkan tanpa pengawasan dan penegakan hukum, ancaman terhadap ekosistem Danau Toba dan masyarakat adat akan semakin besar.
“Melindungi Danau Toba dan masyarakat adat di sekitarnya bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga amanah hukum yang harus ditegakkan,” tegas Fata Laia.
Tuntutan untuk Generasi Mendatang
Danau Toba, sebagai salah satu warisan alam Indonesia, memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat sekitar dan generasi mendatang. Oleh karena itu, upaya melindungi kawasan ini harus menjadi prioritas bersama. Generasi mendatang berhak hidup di lingkungan yang lestari, bebas dari kerusakan ekologis, dan dalam harmoni dengan alam.
DPD GMNI SUMUT menegaskan bahwa mereka akan terus berjuang untuk keadilan lingkungan dan hak masyarakat adat.
"Kami tidak akan diam sampai keadilan tercapai. Ini adalah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua," tutup Fata Laia.