Jakarta, Selektifnews.com - Pengadilan Negeri Simalungun tengah menjadi sorotan setelah melanjutkan persidangan untuk perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu Perkara Perdata Nomor 23/Pdt.G/2022/PN.Sim. Namun, dalam tindakan yang tidak biasa, majelis hakim kembali memeriksa dan mengadili perkara yang sama melalui Perkara Perdata Nomor 77/Pdt.G/2024/PN.Sim. Persidangan yang telah memasuki tahap pemeriksaan materi pokok perkara ini dianggap melanggar asas Ne Bis In Idem, yang melarang pengadilan untuk memeriksa perkara yang sama lebih dari sekali jika sudah memiliki putusan tetap.
Tindakan ini memicu kekhawatiran akan ketidakpastian hukum di masyarakat, di mana masyarakat berharap pengadilan bertindak adil dan menghormati prinsip hukum yang ada. Pengulangan pemeriksaan ini dinilai bertentangan dengan semangat penegakan hukum dan asas keadilan.
Ketidakpastian Hukum dan Dugaan Pelanggaran Asas Ne Bis In Idem
Ketiga hakim yang menangani perkara ini adalah Agung CFD Laia, Ida Maryam Hasibuan, dan Widi Astuti. Penunjukkan kembali untuk memeriksa perkara yang telah diputus tetap oleh pengadilan menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat dan pemantau hukum mengenai alasan di balik keputusan untuk kembali mengadili kasus tersebut. Menurut kajian yang dilakukan, tidak ditemukan adanya hubungan keluarga atau afiliasi lain antara para hakim dengan pihak penggugat.
Namun, diduga kuat bahwa pengulangan pemeriksaan tersebut dipengaruhi oleh adanya praktik suap atau gratifikasi yang diberikan oleh penggugat atau kuasa hukum mereka kepada majelis hakim. Jika benar adanya, maka hal ini tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mencoreng integritas lembaga peradilan sebagai penjaga keadilan di negeri ini.
Tuntutan kepada Mahkamah Agung untuk Penindakan Tegas
Sejumlah masyarakat yang diwakili oleh Yuli, Koordinator Aksi, telah mengajukan tuntutan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam tuntutannya, mereka meminta agar Mahkamah Agung segera mengambil langkah tegas terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang terlibat dalam pemeriksaan perkara ini. Adapun poin-poin tuntutan yang diajukan antara lain:
1. Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung – Meminta Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Perdata Nomor 77/Pdt.G/2024/PN.Sim, karena pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah berkekuatan hukum tetap dinilai melanggar asas hukum.
2. Penonaktifan Majelis Hakim – Meminta penonaktifan terhadap majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut, yaitu Agung CFD Laia, Ida Maryam Hasibuan, dan Widi Astuti, selama proses pemeriksaan oleh Mahkamah Agung berlangsung, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap peradilan.
3. Penggantian Majelis Hakim – Mengajukan permohonan agar Mahkamah Agung mengganti majelis hakim yang menangani perkara Nomor 77/Pdt.G/2024/PN.Sim, mengingat kekhawatiran masyarakat bahwa ketiga hakim tersebut tidak lagi bersikap independen.
4. Penyelidikan Dugaan Suap atau Gratifikasi – Mendesak Mahkamah Agung untuk menyelidiki dugaan suap atau gratifikasi yang melibatkan para penggugat atau kuasa hukum mereka dengan majelis hakim, yang dikhawatirkan menjadi latar belakang pengulangan pemeriksaan perkara.
5. Penjatuhan Sanksi Berat – Menuntut agar sanksi berat diberikan jika Mahkamah Agung menemukan adanya indikasi suap atau gratifikasi dalam perkara tersebut, dengan harapan bahwa langkah ini dapat memberikan efek jera sekaligus menjaga integritas lembaga peradilan.
Pentingnya Penegakan Hukum yang Bersih dan Berintegritas
Kasus ini menunjukkan pentingnya integritas di dalam penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat berharap Mahkamah Agung bersikap tegas dalam menangani dugaan pelanggaran ini, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali. Harapan masyarakat adalah agar prinsip-prinsip hukum seperti Ne Bis In Idem dan kepastian hukum dijunjung tinggi oleh setiap aparat penegak hukum.
Kasus ini diharapkan dapat menjadi refleksi bagi seluruh lembaga peradilan di Indonesia untuk senantiasa menjaga keadilan, transparansi, serta bebas dari pengaruh suap atau gratifikasi. Tuntutan yang disampaikan diharapkan menjadi langkah awal dalam memperbaiki citra peradilan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia.