OYO Residence 68, yang berlokasi di Jl. Rajamin Purba No.132, Bukit Sofa, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar |
Pematang Siantar, Selektifnews.com – OYO Residence 68, yang berlokasi di Jl. Rajamin Purba No.132, Bukit Sofa, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar, kembali menjadi sorotan masyarakat setempat. Kebijakan hotel tersebut, yang dianggap terlalu longgar terkait penerimaan tamu, telah memicu perdebatan di kalangan warga yang menjunjung tinggi norma-norma adat dan agama.
Pada 8 Oktober 2024, Saat awak media menyambangi Jodi, seorang resepsionis hotel, semakin memperkuat persepsi ini.
"Iya, benar kalau pasangan suami istri boleh menginap," ujarnya ketika ditanya mengenai kebijakan hotel terhadap tamu.
Meskipun terdengar wajar, Jodi tidak menyebutkan adanya prosedur yang memastikan status pernikahan dari pasangan yang menginap.
Pernyataan Jodi diperjelas lagi oleh mantan manajer hotel Wesly, yang menegaskan bahwa hotel tersebut tidak memberlakukan aturan yang ketat terhadap tamu yang ingin menginap.
"Ya, kami gak tahu lah, kalau mereka suami istri atau bukan. Ini kan bukan hotel syariah," ujar Wesly, menandakan bahwa hotel tersebut tidak melakukan pengecekan status pernikahan sebagai bagian dari kebijakan pelayanan mereka.
Kontroversi Norma Sosial dan Budaya Lokal
Kebijakan ini menjadi sorotan di kalangan masyarakat Pematang Siantar, yang dikenal dengan nilai-nilai adat dan agama yang kuat. Banyak warga merasa bahwa pendekatan OYO Residence 68 mengabaikan norma-norma sosial yang telah lama dijunjung tinggi oleh masyarakat. Meskipun secara hukum, tidak ada aturan yang mewajibkan hotel non-syariah untuk menanyakan status pernikahan tamu, masyarakat tetap mengharapkan adanya penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Kebijakan yang longgar ini memunculkan kekhawatiran akan kemungkinan dampak negatif bagi komunitas lokal. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa sikap terbuka ini dapat memperburuk situasi sosial, terutama terkait praktek prostitusi dan penyebaran penyakit seperti HIV/AIDS. Nilai-nilai adat dan agama di Pematang Siantar menempatkan moralitas sebagai bagian penting dari tatanan sosial, sehingga kebijakan OYO Residence 68 dinilai berpotensi mencoreng citra moral masyarakat.
Reaksi Publik dan Pemangku Kepentingan
Ketua Aliansi Masyarakat Siantar Simalungun Bersatu, Johan Arifin, adalah salah satu tokoh yang menyuarakan keprihatinannya terkait kebijakan ini. Menurut Johan, ketidakjelasan kebijakan terkait pasangan yang menginap di OYO Residence 68 mencerminkan lemahnya kontrol dari pihak hotel terhadap praktik yang dapat melanggar norma setempat. Ia juga menilai bahwa Pemerintah Kota Pematang Siantar seharusnya lebih tegas dalam mengatur dan mengawasi operasional hotel yang berpotensi menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
“Kita tidak menuding bahwa ini tempat prostitusi, tapi jika kebijakan ini dibiarkan, maka potensi penyalahgunaannya semakin besar. Harus ada aturan yang jelas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS,” ungkap Johan.
Ia juga mendesak agar Pemko Pematang Siantar bersama para stakeholder segera mengambil langkah untuk meninjau kebijakan ini demi menjaga moral dan kesehatan publik.
Tantangan Bagi Dunia Usaha dan Norma Lokal
Meski demikian, dari sudut pandang bisnis, kebijakan longgar seperti yang diterapkan oleh OYO Residence 68 bukan hal baru di kalangan perhotelan non-syariah. Banyak hotel yang memilih pendekatan ini demi meningkatkan jumlah tamu dan menjaga keberlangsungan bisnis, terutama di tengah persaingan ketat dalam industri pariwisata dan perhotelan. Namun, langkah tersebut sering kali memicu konflik dengan norma dan nilai-nilai masyarakat lokal, terutama di wilayah yang menjunjung tinggi adat dan agama.
Pertanyaan Terbuka: Bisnis atau Norma?
Dengan adanya polemik ini, masyarakat kini menunggu langkah selanjutnya dari OYO Residence 68 dan Pemko Pematang Siantar. Apakah hotel ini akan tetap mempertahankan kebijakan longgarnya demi mengedepankan aspek bisnis, atau akankah ada perubahan yang menghormati norma-norma budaya dan agama setempat? **Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi pihak hotel** serta para pemangku kepentingan di Pematang Siantar dalam mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial.
Hingga saat ini, OYO Residence 68 belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kontroversi ini. Waktu akan menentukan apakah hotel ini akan merevisi kebijakannya atau mempertahankan status quo demi mempertahankan basis pelanggan yang lebih luas.
Masyarakat Pematang Siantar berharap bahwa apa pun keputusannya, nilai-nilai moral yang telah menjadi fondasi kehidupan di kota ini tetap dihormati. Karena, pada akhirnya, setiap kebijakan bisnis yang diterapkan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap komunitas yang dilayani.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar M.Hamam Sholeh saat dikonfirmasi wartawan terkait hal ini terkesan bungkam dan enggan menanggapi pertanyaan wartawan.