PESISIR BARAT, SELEKTIFNEWS.COM - Pemilu Presiden dan Legislatif 2024 tinggal hitungan hari lagi,suasana di media sosial dan jalan-jalan sudah beraroma politik. Baliho dan spanduk mulai bertebaran bak jamur di musim hujan. Ada wajah baru, belum terkenal dan ada beberapa wajah lama yang berbeda penampilan.
Jika pada 2019 tahun lalu ia sedikit langsing, tahun ini penampilannya sedikit gemuk atau sebaliknya. Yang dulunya rambutnya masih hitam semua, kini balihonya sedikit beruban dan sudah makin matang penampilannya, ditambah dengan para caleg wajah wajah baru yang tak ketinggalan ikut meramaikan pesta demokrasi ini, kemudian tak terlepas di warung warung kopi kebanyakan warga topik pembicaraan terkait kontestasi politik.
Bukan hal baru lagi jika agenda besar 5 (lima) tahunan, yakni pemilihan umum (Pemilu) menjadi lorong satu-satunya bagi setiap orang untuk bermimpi bisa melenggang sebagai wakil rakyat alias jadi legislator di gedung DPRD.
Kompetisi calon legislatif (caleg) ini pun bagian dari momentum untuk Pemilu tahun 2024 kali ini. Terlebih kehadiran banyak partai politik (parpol), telah membuka sebesar-besarnya peluang bagi setiap warga negara untuk dapat menjadi calon wakil rakyat.
Kesempatan tersebutlah yang membuat harapan besar bagi banyak orang untuk memiliki kesamaan hak bisa duduk di kursi kekuasaan pada tingkatan yang diinginkan.
Sementara, ramainya orang menjadi caleg tentu memicu banyak pikiran dan pandangan yang menyebutkan sisi mana enaknya menjadi wakil rakyat, sehingga memacu orang berkompetisi memperebutkan kursi empuk yang disediakan.
Konon, salah satu pikiran mendasar orang yang bermimpi menjadi wakil rakyat, yakni tergiur dengan gaji yang besar, meski tidak semua tingkatan sama, dimana gaji wakil rakyat di DPR RI, DPD tentu lebih besar di atas DPRD Provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi kerap dihembuskannya soal kenaikan penghasilan bahwa gaji anggota dewan yang terhormat pada semua tingkatan bisa mencapai tiga kali lipat. Kondisi ini pula yang membuat ketertarikan orang merasakan bisa jadi wakil rakyat.
Terlepas dari itu, bisa duduk pada tingkat bawah saja yakni DPRD Kabupaten sudah memuaskan, terlebih ada pameo yang menyebutkan wakil rakyat itu hanya datang, duduk, diam bisa membuat seseorang yang merasakan jadi orang kaya baru alias OKB.
“Jadi wakil rakyat itu adalah sebuah hak setiap orang, namun jangan berorientasi hanya dikarenakan gaji yang besar tapi lebih kepada amanah untuk memenuhi harapan masyarakat atau konstituen,” ungkap Man Te saat duduk diwarung kopi.
Menurutnya, orang bisa berpikiran menjadi wakil rakyat adalah sebuah kesempatan karena hanya terbersitnya sepenggal saja, yakni gaji, tunjangan ataupun insentif yang diasumsikan besar.
Tapi tuntutan secara kepartaian dan konstituen serta integritas selaku wakil rakyat kerap tidak dipikirkan banyak orang.
“Ya, kalau pikiran hanya gaji, anggota dewan selalu dicap minor kinerjanya,” tukasnya.
Man Te berharap, paradigma penilaian kinerja dewan yang selalu santai harus dibuang secara total, setidaknya kata dia sudah saatnya para caleg membuka wawasan dan cara pikir masyarakat, bahwa kinerja lembaga legislatif tidak lain memperjuangkan aspirasi dari amanah yang dipercayakan kepadanya.
Terkhusus di Bumi Sai Batin dan Para Ulama,pungkasnya.
Jhon Simamora