-->

Iklan

Menu Bawah

Iklan

Halaman

Idealisme Dan Kebebasan Pers Terlalu Berharga Untuk Dijual Murahan

Redaksi
Selasa, 28 Februari 2023, Februari 28, 2023 WIB Last Updated 2023-03-13T18:48:40Z

 


Oleh: Chris Komari

Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA).


Journalist yang prejudice dan membenci demokrasi itu bukan hanya aneh, tetapi tidak memahami sejarah dari mana jurnalis mendapatkan freedom of the press.


Free media, freedom of the press dan journalism sebagai instrumen pilar ke 4 demokrasi, peranya sangat esensial dan sangat kritikal.


Ketika negara Amerika Serikat (USA) masih berupa daerah jajahan (colonies) oleh British colonial government, muncul kasus media censorship "pertama" yg terjadi waktu itu dan masuk di gugat dalam proses pengadilan pemerintahan colonialism pemerintahan Inggris (British).


Kasus itu adalah antara Gubernur Colonial British William Cosby,  melawan The Editor New York Weekly Journal, bernama John Peter Zenger, terjadi tahun 1734.


Negara USA Merdeka tanggal 4 Juli, 1776. Jadi peristiwa media censorship di Amerika Serikat (AS) itu terjadi 42 tahun sebelum Amerika merdeka menjadi United States of America (USA).


Untungnya dalam kasus di pengadilan itu,  Editor New York Weekly Journal, John Peter Zenger, menang dalam perkara di pengadilan itu.


Kemenangan John P. Zenger di Pengadilan itu tidak lepas dari argumentasi kebebasan media (freedom of the press) yang ditulis dalam berbagai artikel dan esai yang dikenal dengan sebutan Cato’s Letters.


Cato’s Letters adalah tulisan berupa penjelasan, argumentasi, dan kritisme yang membela hak warga negara (citizens) dan freedom of the press yang ditulis dalam bentuk esai oleh 2 aktivis Inggris bernama "John Trenchard" dan "Thomas Gordon", dengan mengunakan pseudonym "Cato". Kemudian esai itu dikenal dengan sebutkan Cato’s Letters.


Selama 3 tahun dari tahun 1720 hingga 1723, 2 aktivis Inggris ini menulis artikel berseri yang membahas Tyranny and Corruption of British Government.


Kalau dihitung dari awal perjuangan para aktivis yang memperjuangkan Free Media, Free Press, dan Freesom of The Press dari Cato’s Letters tahun 1720 hingga the 1st amendment U.S Constitution tahun 1791 yang menjamin Freedom of The Press, maka perjuangan itu membutuhkan waktu 71 tahun.


Jurnalis dan aktivis di Amerika Serikat (AS) sendiri, berjuang keras untuk mendapatkan dan mempertahankan apa yang disebut dengan Freedom of The Press, mulai dari sebelum merdeka hingga detik ini. Karena usaha-usaha untuk membatasi freedom of the press itu selalu muncul di sana-sini.


Kemudian, ketika negara Amerika Serikat (AS)  merdeka tanggal 4 Juli 1776, pemerintah dan para pendiri bangsa negara USA mengadopsi dan mengukuhkan; once and for all, The Freedom of The Press ini ke dalam U.S Constitution lewat the 1st amendment tahun 1791, yang dikenal dengan The Bill of Rights.


Jadi di Amerika Serikat (USA) sendiri, dimulai dari kasus media censorship pertama yang terjadi tahun 1734 hingga diadopsinya Freedom of The Press dalam U.S Constitution lewat the 1st amendment tahun 1791, (Bill of Rights) diperlukan waktu 57 tahun untuk mendapatkan dan mempertahankan Freedom of The Press.


Jadi perjuangan untuk mendapatkan freedom of the press itu sangat panjang hingga pada akhirnya, Free Media menjadi pilar demokrasi ke 4 non-government.


Sekarang banyak journalists di luar USA dan British, khususnya yang berada di tanah air Indonesia yang kini menikmati Freedom of The Press (Free Media), tetapi memiliki rasa prejudice membenci demokrasi, karena tidak Islami?


Bagaimana demokrasi itu diklaim sebagai sistem tidak Islami, sementara itu demokrasi justru membela, menjamin, melindungi, menghormati dan memberikan kebebasan beragama (freedom of religion) kepada semua orang, semua golongan dan semua agama? Freedom of religion adalah bagian dari pilar demokrasi nomer 5.


Bahkan tidak sedikit para akademisi dan ulama di tanah air yang menikmati Freedom of The Press, Freedom of Speech, Freedom of Expression dan Freedom of Assembly (untuk bisa protes dan demo melawan penguasa dholim), menginginkan kebebasan berkumpul dan berkotbah, tetapi memiliki rasa prejudice dan membenci demokrasi? Itu kan sangat ironis!


Apakah mereka tidak sadar dari mana mereka mendapatkan kebebasan media (freedom of the press) kebebasan berbicara, berekpresi dan kebebasan berkumpul itu diperoleh?


Itu semua memang kebebasan yang diberikan oleh Allah SWT terhadap mahkluknya, tetapi demokrasi menjamin semua itu.


Tanpa 3 peristiwa sejarah di bawah ini, freedom of the press tidak mungkin bisa anda nikmati:


1). Articles (essays) yang ditulis selama 3 tahun (1720-1723) dalam Cato’s Letters oleh John Trenchard dan Thomas Gordon (British activists).


2). Perjuangan the editor dari New York Weekly Journal di USA; John Peter Zenger, melawan Gubernur colonial British government, William Cosby di Amerika Serikat (AS)


3). Lahirnya Bill of Rights dalam 1st amendment Konstitusi Amerika Serikat (AS) yang menjamin kebebasan pers (freedom of the press).


Tanpa 3 peristiwa sejarah yang panjang di atas, maka belum tentu Anda bisa menikmati  Freedom of The Press, Freedom of Speech, Expression and Freedom of Assembly yang Anda semua nikmati sekarang ini.


A). Socrates, Plato dan Demokrasi

Socrates dan Plato pernah mengkritik  demokrasi sebagai Mobocracy, yakni government of the mob, by the mob and for the mob.


Mobocracy adalah pemerintahan dari the mob (large crowd of disorderly people), oleh the mob dan untuk the mob.


Siapa the mob yang dimaksud oleh Socrates dan Plato di era demokrasi kuno? The mob yang dimaksud adalah para:


1). Ignorance voters

2). Uninformed voters

3). Ill-informed voters.

4). Mis-informed voters

5). Arrogant voters.


The mob di atas adalah kumpulan orang-orang yang tidak peduli dengan politik, urusan negara dan masalah bangsa, tetapi gerombolan mereka membentuk suara mayoritas dalam satu negara. Sehingga dalam PEMILU berhasil memilih pemimpin bangsa yang malah "unqualified" (planga-plongo) dan "least qualified" seperti pemimpin model Kakistocracy dan Plutocracy.


Hal itu terjadi karena di era demokrasi kuno hanya ada 3 lembaga tinggi negara:


1). Ekklesia (the assembly)

2). Boule (the council)

3). Dikasteria (the court)

Ada satu komponen demokrasi yang missing?

4). Yang disebut Free Media.


Karena itulah dalam demokasi modern, Free Media menjadi pilar demokrasi ke 4 non-government dalam sistem pemerintahan demokrasi.


Free Media dalam demokrasi memiliki tugas dan tanggung-jawab untuk memberikan edukasi publik dengan memberikan informasi yang baik dan benar sesuai fakta, sehingga publik (voters) itu menjadi paham (well-informed) dan bisa menjadi "intelligence voters".


Tapi media di Indonesia tidak menjalankan tugas dan tanggung-jawab itu, malah banyak menerbitkan artikel sampah, tidak mendidik, tidak akurat, menyesatkan dan membodohi,  sehingga bikin rakyat tambah tersesat dalam ketidakpahaman tentang demokrasi.


Padahal Freedom of The Press itu adalah perjuangan panjang para aktifis demokrasi di masa lalu, yang berhasil menjadikan Free Media pilar demokrasi ke 4.


Kalau ada wartawan dan jurnalisme yang prejudice dan membenci demokrasi itu bukan hanya aneh, tapi wartawan atau journalis itu tidak paham sejarah dan perlu belajar dari mana dia mendapatkan dan menikmati Freedom of The Press?


B) Tugas dan Tanggung Jawab Free Media dalam Demokrasi


Secara prinsip tugas, fungsi dan tanggung-jawab Free Media sebagai pilar ke 4 demokrasi, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu ada 3 macam:

1). Sebagai Watchdog, which is to investigate the government's wrong doings and to report their findings to the people.


Sebagai pengawas terhadap hasil kerja pemerintah, pejabat negara dan wakil-wakil rakyat dipemerintahan untuk diselidiki (investigative journalism) dan melaporkan hasil penyelidikan itu kepada publik (rakyat) lewat publications dan journalism.


2). Sebagai Public Education (edukasi publik) lewat reporting, investigative journalism dan fact-findings, sehingga rakyat menjadi Well-Informed (bukannya Un-Informed, Ill-Informed atau Mis-Informed) untuk menghindari munculnya Kakistocracy, Plutocracy, Autocracy dan Facism.


3). Sebagai Public Oversight and  Public Scrutiny, artinya semua jurnalis dan jurnalisme itu ada dan diberikan bekal senjata istimewa yg disebut Freedom of The Press.


Senjata istimewa para jurnalis berupa Freddom of The Press ini harus dipakai untuk memenuhi tugas dan tanggung-jawab "sebagai pilar demokrasi ke 4", sebagai Watch Dog, Public Srcutinizer and Public Oversight.


Jangan malah dijual murah menjadi kacung penguasa, sebagai alat pemalak rakyat dan alat untuk membenci dan prejudice terhadap nilai-nilai demokrasi!


Tujuan, tugas dan tanggung-jawab Free Media sebagai instrumen pilar ke 4 demokrasi sebenarnya lebih luas lagi, lebih besar dan lebih essential fungsinya dalam sistem pemerintahan demokrasi.


Perhatikan fakta-fakta sejarah dunia dibawah ini:

1). Facist Hitler NAZI GerGermany

Fascism Nazi Germany itu muncul dan tumbuh subur karena Free Media menjadi alat propaganda pemerintah dan alat public manipulation, tidak lagi ada public oversight, tidak ada public secrutiny, tidak lagi ada checks and balances dalam pemerintahan Nazi Germany.


2). Lihat Korea Utara sekarang dengan diktator Kim Jong Un.

Ketika Free Media menjadi alat propaganda penguasa, tidak lagi ada Public Oversight, Public Scrunity and Checks and Balances dalam pemerintahan, maka kekuasaan diktator atau tiran menjadi subur, unchallenged!


3). Lihat Rusia dengan diktator Vladimir Putin.

Ketika Free Media menjadi Restricted Media, No Freedom of The Press, semua narasi dalam media dibatasi, tidak boleh menulis invasi militer Rusia di Ukraina disebut Perang (WAR), harus ditulis special military operation.


Hal itu membuat kekuasaan Diktator Vladimir Putin menjadi Undemocratic, Out of Control and Unchecked.


4). Lihat di RRC China.

Presiden RRC, Xi Jinping dan CCP membatasi bukan hanya ruang gerak Free Media and Freedom of The Press.


Tetapi Freedom of Movements rakyat RRC dengan Curfews dan Marshal Law in disguise of Zero Covid Policy dengan constant dan continuing lockdowns.


RRC China  adalah negara komunis dan semua Communists membenci Free Media.


Mereka itu having the same thing in common:


1). Facist membenci Free Media.


2). Dictator membenci FreeMedia.


3). Communist membenci Free Media.


5). Sekarang lihat Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi?


Sebelum muncul lagi seorang pemimpin fasis, diktator, tiran, dan komunis di Indonesia dalam konteks pemerintahan demokrasi, maka jalankan tugas dan tanggung-jawab jurnalisme yang baik dan benar sebagai pilar demokrasi nomor 4.


Jurnalis harus mampu menjalankan tugas dan tanggung-jawab Public Oversifght dan  Public Scurnity terhadap hasil kerja pemerintah:

1). Terhadap hasil kerja pejabat tinggi negara, terhadap anggota kabinet, terhadap hasil kerja wakil-wakil rakyat di pemerintahan, terhadap hasil kerja TNI, Polisi, KPK, KPU, Bawaslu, MK dan Presiden.


Jangan gadaikan spirit dan idealisme jurnalisme dengan uang recehan, jadi pemalak, KKN dan mencari rondo teles!


2). Public oversight dan public scrutiny ini harus dijalankan sebagai pilar demokrasi ke 4 untuk mempertahankan separation of power, mengoreksi Abuse of Power, menghindari munculnya Kakistocracy, Plutocracy, Autocracy, Tyrant, Dictator and Facism.


Public Scrunity dan Public Oversight terhadap siapa?


3). Terhadap hasil kerja pemerintah pusat dan daerah, mulai dari Presiden, pejabat tinggi negara, pejabat publik, Gubernur, Wali Kota, Bupati, anggota MPR/DPR/DPD/DPRD, Kabinet Menteri, BUMN, TNI, POLISI, dan semua aparat negara di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.


C). Free Media Harus Independen.

https://smsindonesia.co/pemberian-pin-emas-smsi-wujud-apresiasi-industri-pers-kepada-ksad-jenderal-tni-dudung-abdurachman.html


Melakukan kerja sama dengan TNI, Polri untuk saling melengkapi atau menjaga NKRI dan Pancasila tidak harus menjadikan Jenderal TNI, Jenderal Polisi menjadi anggota Dewan Pembina Pers, Dewan Penasehat dan Dewan Pertimbangan Organisasi yang memiliki produk jurnalisme. Itu jelas ada Conflict of Interest.


Karena hal itu jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi on Separation of Powers, antara: eksekutif, legislatif, yudikatif dan kebebasan pers.


Itu namanya jurnalis dan jurnalisme yang tidak tahu sejarah, kurang paham, perlu trainings, masih belum paham dengan prinsip-prinsip demokrasi dan riwayat asal usulnya, dari mana free media, free pers dan freedom of the press itu ada dan muncul dalam sistem demokrasi. (*



Komentar

Tampilkan

Terkini